Senin, 14 September 2009

Akhir Hayat Syaikh Qutub

"ini bukanlah tentang terorisme!!! tapi bagaimana kita belajar tentang pendirian teguh kita sebagai muslim..."





Ulama, da’i, serta para penyeru Islam yang mempersembahkan nyawanya di Jalan Allah, atas dasar ikhlash kepadaNya, sentiasa ditempatkan Allah sangat tinggi dan mulia di hati segenap manusia.

Di antara da’i dan penyeru Islam itu adalah Syuhada (insya Allah) Sayyid Qutb. Bahkan peristiwa eksekusi matinya yang dilakukan dengan cara digantung, memberikan kesan mendalam dan menggetarkan bagi siapa saja yang mengenal Beliau atau menyaksikan sikapnya yang teguh. Di antara mereka yang begitu tergetar dengan sosok mulia ini adalah dua orang polisi yang menyaksikan eksekusi matinya (di tahun 1966).

Salah seorang polisi itu mengetengahkan kisahnya kepada kita:

Ada banyak peristiwa yang tidak pernah kami bayangkan sebelumnya, lalu peristiwa itu menghantam kami dan merubah total kehidupan kami.

Di penjara militer pada saat itu, setiap malam kami menerima orang atau sekelompok orang, laki-laki atau perempuan, tua maupun muda. Setiap orang-orang itu tiba, atasan kami menyampaikan bahwa orang-orang itu adalah para pengkhianat negara yang telah bekerja sama dengan agen Zionis Yahudi. Karena itu, dengan cara apapun kami harus bias mengorek rahasia dari mereka. Kami harus dapat membuat mereka membuka mulut dengan cara apapun, meski itu harus dengan menimpakan siksaan keji pada mereka tanpa pandang bulu.

Jika tubuh mereka penuh dengan berbagai luka akibat pukulan dan cambukan, itu sesuatu pemandangan harian yang biasa. Kami melaksanakan tugas itu dengan satu keyakinan kuat bahwa kami tengah melaksanakan tugas mulia: menyelamatkan negara dan melindungi masyarakat dari para “pengkhianat keji” yang telah bekerja sama dengan Yahudi hina.

Begitulah, hingga kami menyaksikan berbagai peristiwa yang tidak dapat kami mengerti. Kami mempersaksikan para ‘pengkhianat’ ini sentiasa menjaga shalat mereka, bahkan sentiasa berusaha menjaga dengan teguh qiyamullail setiap malam, dalam keadaan apapun. Ketika ayunan pukulan dan cabikan cambuk memecahkan daging mereka, mereka tidak berhenti untuk mengingat Allah. Lisan mereka sentiasa berdzikir walau tengah menghadapi siksaan yang berat.

Beberapa di antara mereka berpulang menghadap Allah sementar ayunan cambuk tengah mendera tubuh mereka, atau ketika sekawanan anjing lapar merobek daging punggung mereka. Tetapi dalam kondisi mencekam itu, mereka menghadapi maut dengan senyum di bibir, dan lisan yang selalu basah mengingat nama Allah.

Perlahan, kami mulai ragu, apakah benar orang-orang ini adalah sekawanan ‘penjahat keji’ dan ‘pengkhianat’? Bagaimana mungkin orang-orang yang teguh dalam menjalankan perintah agamanya adalah orang yang berkolaborasi dengan musuh Allah?

Maka kami, aku dan temanku yang sama-sama bertugas di kepolisian ini, secara rahasia menyepakati, untuk sedapat mungkin berusaha tidak menyakiti orang-orang ini, serta memberikan mereka bantuan apa saja yang dapat kami lakukan. Dengan ijin Allah, tugas saya di penjara militer tersebut tidak berlangsung lama. Penugasan kami yang terakhir di penjara itu adalah menjaga sebuah sel di mana di dalamnya dipenjara seseorang. Kami diberi tahu bahwa orang ini adalah yang paling berbahaya dari kumpulan ‘pengkhianat’ itu. Orang ini adalah pemimpin dan perencana seluruh makar jahat mereka. Namanya Sayyid Qutb.

Orang ini agaknya telah mengalami siksaan sangat berat hingga ia tidak mampu lagi untuk berdiri. Mereka harus menyeretnya ke Pengadilan Militer ketika ia akan disidangkan. Suatu malam, keputusan telah sampai untuknya, ia harus dieksekusi mati dengan cara digantung.

Malam itu seorang sheikh dibawa menemuinya, untuk mentalqin dan mengingatkannya kepada Allah, sebelum dieksekusi.

(Sheikh itu berkata, “Wahai Sayyid, ucapkanlah Laa ilaha illa Allah…”. Sayyid Qutb hanya tersenyum lalu berkata, “Sampai juga engkau wahai Sheikh, menyempurnakan seluruh sandiwara ini? Ketahuilah, kami mati dan mengorbankan diri demi membela dan meninggikan kalimat Laa ilaha illa Allah, sementara engkau mencari makan dengan Laa ilaha illa Allah”. Pent)

Dini hari esoknya, kami, aku dan temanku, menuntun dan tangannya dan membawanya ke sebuah mobil tertutup, di mana di dalamnya telah ada beberapa tahanan lainnya yang juga akan dieksekusi. Beberapa saat kemudian, mobil penjara itu berangkat ke tempat eksekusi, dikawal oleh beberapa mobil militer yang membawa kawanan tentara bersenjata lengkap.

Begitu tiba di tempat eksekusi, tiap tentara menempati posisinya dengan senjata siap. Para perwira militer telah menyiapkan segala hal termasuk memasang instalasi tiang gantung untuk setiap tahanan. Seorang tentara eksekutor mengalungkan tali gantung ke leher Beliau dan para tahanan lain. Setelah semua siap, seluruh petugas bersiap menunggu perintah eksekusi.

Di tengah suasana ‘maut’ yang begitu mencekam dan menggoncangkan jiwa itu, aku menyaksikan peristiwa yang mengharukan dan mengagumkan. Ketika tali gantung telah mengikat leher mereka, masing-masing saling bertausiyah kepada saudaranya, untuk tetap tsabat dan shabr, serta menyampaikan kabar gembira, saling berjanji untuk bertemu di Surga, bersama dengan Rasulullah tercinta dan para Shahabat. Tausiyah ini kemudian diakhiri dengan pekikan, “ALLAHU AKBAR WA LILLAHIL HAMD!” Aku tergetar mendengarnya.

Di saat yang genting itu, kami mendengar bunyi mobil datang. Gerbang ruangan dibuka dan seorang pejabat militer tingkat tinggi datang dengan tergesa-gesa sembari memberi komando agar pelaksanaan eksekusi ditunda.

Perwira tinggi itu mendekati Sayyid Qutb, lalu memerintahkan agar tali gantungan dilepaskan dan tutup mata dibuka. Perwira itu kemudian menyampaikan kata-kata dengan bibir bergetar, “Saudaraku Sayyid, aku datang bersegera menghadap Anda, dengan membawa kabar gembira dan pengampunan dari Presiden kita yang sangat pengasih. Anda hanya perlu menulis satu kalimat saja sehingga Anda dan seluruh teman-teman Anda akan diampuni”.

Perwira itu tidak membuang-buang waktu, ia segera mengeluarkan sebuah notes kecil dari saku bajunya dan sebuah pulpen, lalu berkata, “Tulislah Saudaraku, satu kalimat saja… Aku bersalah dan aku minta maaf…”

(Hal serupa pernah terjadi ketika Ustadz Sayyid Qutb dipenjara, lalu datanglah saudarinya Aminah Qutb sembari membawa pesan dari rejim thowaghit Mesir, meminta agar Sayyid Qutb sekedar mengajukan permohonan maaf secara tertulis kepada Presiden Jamal Abdul Naser, maka ia akan diampuni. Sayyid Qutb mengucapkan kata-katanya yang terkenal, “Telunjuk yang sentiasa mempersaksikan keesaan Allah dalam setiap shalatnya, menolak untuk menuliskan barang satu huruf penundukan atau menyerah kepada rejim thowaghit…”. Pent)

Sayyid Qutb menatap perwira itu dengan matanya yang bening. Satu senyum tersungging di bibirnya. Lalu dengan sangat berwibawa Beliau berkata, “Tidak akan pernah! Aku tidak akan pernah bersedia menukar kehidupan dunia yang fana ini dengan Akhirat yang abadi”.

Perwira itu berkata, dengan nada suara bergetar karena rasa sedih yang mencekam, “Tetapi Sayyid, itu artinya kematian…”

Ustadz Sayyid Qutb berkata tenang, “Selamat datang kematian di Jalan Allah… Sungguh Allah Maha Besar!”

Aku menyaksikan seluruh episode ini, dan tidak mampu berkata apa-apa. Kami menyaksikan gunung menjulang yang kokoh berdiri mempertahankan iman dan keyakinan. Dialog itu tidak dilanjutkan, dan sang perwira memberi tanda eksekusi untuk dilanjutkan.

Segera, para eksekutor akan menekan tuas, dan tubuh Sayyid Qutb beserta kawan-kawannya akan menggantung. Lisan semua mereka yang akan menjalani eksekusi itu mengucapkan sesuatu yang tidak akan pernah kami lupakan untuk selama-lamanya… Mereka mengucapkan, “Laa ilaha illah Allah, Muhammad Rasulullah…”

Sejak hari itu, aku berjanji kepada diriku untuk bertobat, takut kepada Allah, dan berusaha menjadi hambaNya yang sholeh. Aku sentiasa berdoa kepada Allah agar Dia mengampuni dosa-dosaku, serta menjaga diriku di dalam iman hingga akhir hayatku.



Diambil dari kumpulan kisah: “Mereka yang kembali kepada Allah”
Oleh: Muhammad Abdul Aziz Al Musnad
Diterjemahkan oleh Dr. Muhammad Amin Taufiq.

Courtesy: Al Firdaws English Forum

ARRAHMAH.COM

Selasa, 25 Agustus 2009

Angan Tak Terungkap

Merajut mimpi menyulam asa.

Berenang diantara tumpukan harapan.

Duh eloknya sang pemimpi yang terdiam!

Hanya mampu sebatas khayalan dan bimbang.

Hanya itukah yang kau bisa?

Terdiam berpangku tangan!??

Hanya mampu melambai ternganga penuh angan!!!!

Tangerang 2009

Rabu, 20 Mei 2009

Nasib Baik dan Buruk



Nasib baik dan nasib buruk, siapa yang tahu? Dalam hidup ini, kadang sesuatu yang kita prediksikan berbeda dengan realitas yang terjadi. Sehingga, hal itu menjadi sebuah masalah dan selalu mengganggu pikiran. Seseorang yang kuat mentalnya, mungkin bisa menerima dan tabah. Namun bagi orang yang tidak kuat mentalnya bisa menyebabkan frustasi bahkan depresi, bersikap apatis terhadap makna yang telah terjadi, padahal disetiap kejadian banyak hal yang bisa dijadikan pelajaran bagi kehidupan mendatang.
Ikhlas, adalah sebuah jalan untuk menghindari frustasi yang diakibatkan oleh harapan yang tidak sesuai dengan kenyataan. Namun ikhlas dalam konteks ini bukanlah ikhlas yang menerima apa adanya. Ikhlas di sini adalah mengakui sebuah kejadian pahit yang terjadi, sebagai rangkaian dari hidup, yang kita jalani. Jika ikhlas diartikan sebagai hal yang demikian, maka untuk bangkit dari sebuah ketepurukan tidaklah sulit. Bahkan dengan bermodalkan pengalaman sebelumnya, kita bisa melangkah pasti dengan menjadikan pengalaman itu sebagai rambu-rambu dalam mengambi keputusan hidup. Seperti yang ditegaskan dalam Al Quran surah An-Nisa, Allah SWT berfirman: “Kecuali orang-orang yang tobat dan mengadakan perbaikan dan berpegang teguh pada (agama) Allah dan tulus ikhlas (mengerjakan) agama mereka karena Allah. Maka mereka itu adalah bersama-sama orang yang beriman dan kelak Allah akan memberikan kepada orang-orang yang beriman pahala yang besar.” (QS AN-Nisa: 146)
Keikhlasan untuk menerima suatu kejadian pahit juga harus ditopang dengan sikap memaafkan. Karena dengan memaafkan, hati ini akan terasa lega. Apapun kejadiannya, dengan sesama manusia atau sedang ditimpa kemalangan, insya Allah semua akan kembali seperti sedia kala. Dari Abu Hurairah Radiyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Suatu sedekah tidak akan mengurangi harta, Allah tidak akan menambah kepada seorang hamba yang suka member maaf kecuali kemuliaan, dan seseorang tidak merendahkan diri karena Allah kecuali Allah mengangkat orang tersebut." (HR. Muslim)



Sesungguhnya suatu kejadian dalam hidup, entah itu baik ataupun buruk tergantung dari penilaian kita. Oleh karenanya, ketika suatu kejadian yang dinilai pahit itu datang, hendaklah kita memaafkan dan mengikhlaskan kejadian itu. Dan kita harus menerima karena hal itu adalah bagian dari hidup yang kita jalani. Dengan demikian insya Allah, hati ini akan tenang dan jauh dari frustasi bahkan depresi. Dan nantinya tidak akan ada satupun calon anggota legistatif yang depresi akibat tidak terpilih. Dan mereka akan bangkit serta membangun bangsa ini maju walaupun tidak duduk dalam parlemen.

(tulisan ini pernah dimuat pada koran harian umum nasional Republika, pada rubrik Hikmah)

ILMU

Tuntutlah ilmu, sesungguhnya menuntut ilmu adalah pendekatan diri kepada Allah Azza wajalla, dan mengajarkannya kepada orang yang tidak mengetahuinya adalah sodaqoh. Sesungguhnya ilmu pengetahuan menempatkan orangnya, dalam kedudukan terhormat dan mulia (tinggi). Ilmu pengetahuan adalah keindahan bagi ahlinya di dunia dan di akhirat. (HR. Ar-Rabii')

Hadis di atas merupakan sebuah landasan bagi setiap muslim untuk selalu menuntut ilmu dalam keadaan senang maupun susah, bahkan sampai keliang lahat. Ilmu bisa dijadikan sebuah alat untuk mencari kemuliaan dunia. Namun, ilmu juga bisa digunakan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT.

Setiap orang berilmu, pasti memiliki suatu pegangan dalam hidup guna menapaki jalan yang berliku. Berbeda dengan seorang yang tidak memiliki ilmu. Ia akan berpegaan kepada apapun yang ia temui. Ia tidak menelaah terlebih dahulu, apakah pegangan itu akan membantunya atau justru membuat ia menjadi hancur. Dan Allah SWT pun memuji sekalugus memberi ganjaran bagi mereka yang senantiasa menuntut ilmu. “Barangsiapa merintis jalan mencari ilmu maka Allah akan memudahkan baginya jalan ke surga.” (HR. Muslim)

Dalam sebuah konsep jihad pun, kita pastilah mengenal konsep jihad bi qalam. Konsep jihad ini berarti seorang muslim dituntut untuk memuliakan agamanya dengan terus menuntut ilmu dan menyebarkannya seseluruh penjuru dunia. Karena dengan hal itu maka islam akan tersiar dan diterima dengan mudah, serta tidak dipaksakan. Seperti pada jaman kekhalifahan yang di pimpin oleh Harun Ar Rasyid. Dimana seluruh orang berbondong-bondong masuk ke bagdad untuk menuntut ilmu di negeri seribu satu malam itu. Hal ini sesuai dengan firman Allah surah Hai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah dalam majelis", maka lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu, maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan (QS Al Mujadillah: 11)

Sebuah ilmu ibarat sebuah pedang, yang mana dengan pedang itu kita dapat menaklukan zaman. Dan seorang yang berdiri tanpa ilmu adalah seorang tanpa senjata yang selalu dalam keadaan bahaya kapanpun dan dimanapun ia berada. Wallahua’lam bisawab.

Kamis, 16 April 2009

IKHLAS

Dari Amirul Mu’minin, (Abu Hafsh atau Umar bin Khottob rodiyallohu’anhu) dia berkata: ”Aku pernah mendengar Rosululloh shollallohu’alaihi wassalam bersabda: ’Sesungguhnya seluruh amal itu tergantung kepada niatnya, dan setiap orang akan mendapatkan sesuai niatnya. Oleh karena itu, barangsiapa yang berhijrah karena Alloh dan Rosul-Nya, maka hijrahnya kepada Alloh dan Rosul-Nya. Dan barangsiapa yang berhijrah karena (untuk mendapatkan) dunia atau karena wanita yang ingin dinikahinya maka hijrahnya itu kepada apa yang menjadi tujuannya (niatnya).’” (Diriwayatkan oleh dua imam ahli hadits; Abu Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrohim bin Mughiroh bin Bardizbah Al-Bukhori dan Abul Husain Muslim bin Al-Hajjaj bin Muslim Al-Qusairy An-Naisabury di dalam kedua kitab mereka yang merupakan kitab paling shahih diantara kitab-kitab hadits)[1]

Kedudukan Hadits
Materi hadits pertama ini merupakan pokok agama. Imam Ahmad rahimahullah berkata: “Ada Tiga hadits yang merupakan poros agama, yaitu hadits Úmar, hadits Aísyah, dan hadits Nu’man bin Basyir.” Perkataan Imam Ahmad rahimahullah tersebut dapat dijelaskan bahwa perbuatan seorang mukallaf bertumpu pada melaksanakan perintah dan menjauhi larangan. Inilah halal dan haram. Dan diantara halal dan haram tersebut ada yang mustabihat (hadits Nu’man bin Basyir). Untuk melaksanakan perintah dan menjauhi larangan dibutuhkan niat yang benar (hadits Úmar), dan harus sesuai dengan tuntunan syariát (hadits Aísyah).

Setiap Amal Tergantung Niatnya
Diterima atau tidaknya dan sah atau tidaknya suatu amal tergantung pada niatnya. Demikian juga setiap orang berhak mendapatkan balasan sesuai dengan niatnya dalam beramal. Dan yang dimaksud dengan amal disini adalah semua yang berasal dari seorang hamba baik berupa perkataan, perbuatan maupun keyakinan hati.

Fungsi Niat
Niat memiliki 2 fungsi:
1. Jika niat berkaitan dengan sasaran suatu amal (ma’bud), maka niat tersebut berfungsi untuk membedakan antara amal ibadah dengan amal kebiasaan.
2. Jika niat berkaitan dengan amal itu sendiri (ibadah), maka niat tersebut berfungsi untuk membedakan antara satu amal ibadah dengan amal ibadah yang lainnya.

Pengaruh Niat yang Salah Terhadap Amal Ibadah
Jika para ulama berbicara tentang niat, maka mencakup 2 hal:

1. Niat sebagai syarat sahnya ibadah, yaitu istilah niat yang dipakai oleh fuqoha’.

2. Niat sebagai syarat diterimanya ibadah, dengan istilah lain: Ikhlas.
Niat pada pengertian yang ke-2 ini, jika niat tersebut salah (tidak Ikhlas) maka akan berpengaruh terhadap diterimanya suatu amal, dengan perincian sebagai berikut:

a. Jika niatnya salah sejak awal, maka ibadah tersebut batal.

b. Jika kesalahan niat terjadi di tengah-tengah amal, maka ada 2 keadaan:
- Jika ia menghapus niat yang awal maka seluruh amalnya batal.
- Jika ia memperbagus amalnya dengan tidak menghapus niat yang awal, maka amal tambahannya batal.

c. Senang untuk dipuji setelah amal selesai, maka tidak membatalkan amal.

Beribadah dengan Tujuan Dunia
Pada dasarnya amal ibadah hanya diniatkan untuk meraih kenikmatan akhirat. Namun terkadang diperbolehkan beramal dengan niat untuk tujuan dunia disamping berniat untuk tujuan akhirat, dengan syarat apabila syariát menyebutkan adanya pahala dunia bagi amalan tersebut. Amal yang tidak tercampur niat untuk mendapatkan dunia memiliki pahala yang lebih sempurna dibandingkan dengan amal yang disertai niat duniawi.

Hijrah
Makna hijrah secara syariát adalah meninggalkan sesuatu demi Allah dan Rasul-Nya. Demi Allah artinya mencari sesuatu yang ada disisi-Nya, dan demi Rasul-Nya artinya ittiba’ dan senang terhadap tuntunan Rasul-Nya.

Bentuk-bentuk Hijrah:
1. Meninggalkan negeri syirik menuju negeri tauhid.
2. meninggalkan negeri bidáh menuju negeri sunnah.
3. Meninggalkan negeri penuh maksiat menuju negeri yang sedikit kemaksiatan.

Ketiga bentuk hijrah tersebut adalah pengaruh dari makna hijrah.

Sumber: Ringkasan Syarah Arba’in An-Nawawi - Syaikh Shalih Alu Syaikh Hafizhohulloh - http://muslim.or.id

Penyusun: Ustadz Abu Isa Abdulloh bin Salam

Minggu, 12 April 2009

Raja Dengan Penunggang Singa



Kisah ini menceritakan tentang seorang sultan yang bernama Abu Faris Syah Al-Karmani. Pada suatu hari baginda keluar berburu bersama-sama dengan pengawal-pengawal baginda. Semasa baginda merayau mencari binatang buruan, tiba-tiba terlintas binatang di hadapan baginda. Tanpa membuang masa, baginda mengejar binatang tersebut sehinggalah baginda sampai ke suatu kawasan tanah lapang. Baginda tidak menyedari bahawa pengawal-pengawal tidak bersamanya semasa baginda mengejar binatang tersebut.

Sambil mencari binatang yang dikejarnya tiba-tiba muncul seorang pemuda menunggang seekor singa yang sangat besar. Bersama-samanya terdapat dua ekor singa lagi mengiringi pemuda tadi. Melihat singa-singa tersebut baginda sangat takut dan cuba hendak lari tetapi tidak berjaya kerana kakinya tidak terdaya untuk melangkah. Pemuda itu menghampiri baginda dan memberi salam. Baginda menjawab salam pemuda itu. Pemuda itu berkata "Wahai Abu Syah, kenapakah tuanku sangat lalai kepada Allah Taala, tuanku sangat mengutamakan dunia daripada akhirat, tuanku sangat kasih kepada dunia dan sangat lalai kepada Allah Taala".

Baginda sangat heran tentang tingkah laku pemuda ini karena semenjak baginda memerintah tidak ada yang berani berkata demikian kepadanya. Baginda tidak dapat berbuat apa-apa lidahnya kelu tidak dapat berkata-kata. Pemuda itu menyambung lagi " Tahukah tuanku bahawa dunia yang dikurniakan oleh Allah adalah sebagai suatu jalan untuk berkhidmat kepadaNya dan bukan untuk bersenang-senang sehingga melalaikan diri" Pemuda itu terus memberi nasihat pada sultan Abu Syah sehingga pemuda itu berasa penat. Tidak lama kemudian muncul seorang perempuan tua membawa secerek air dan diberikan kepada pemuda itu. Setelah selesai meminumnya pemuda itu menawarkan air itu kepada baginda seraya berkata "Minumlah air ini, airnya sungguh nikmat". Baginda mengambil air itu dan terus meminumnya, dan ternyata air itu sungguh nikmat seperti yang dikatakan oleh pemuda itu. Selesai minum baginda menyerahkan kembali cerek air itu kepada perempuan tadi dan tiba-tiba perempuan telah hilang dari pandangan mata.

Baginda sungguh heran melihat keajaiban yang terjadi lalu bertanya kepada pemuda itu "Siapakah perempuan itu, sungguh ajaib sekali ia muncul dengan tiba-tiba dan hilang juga dengan tiba-tiba". Sambung baginda lagi "Katakan kepada ku siapakah perempuan itu dan ke manakah dia pergi?". Pemuda itu menjawab "Dia telah kembali ke tempat asalnya" Baginda tidak faham apa yang dikatakan oleh permuda itu. "Beritahulah siapa sebenarnya perempuan itu" kata baginda. Pemuda itu menjawab "Dia adalah dunia, yang dijelmakan oleh Allah untuk memberi khidmat kepada ku dan dia akan muncul pada bila-bila masa apabila aku memerlukanya" Pemuda itu berkata lagi " Tidakkah tuanku mendengar Allah berfirman: wahai dunia, sesiapa yang berkhidmat kepada Ku, hendaklah kau berkhidmat kepadanya dan siapa yang berkhidmat kepada mu, maka tunggangilah dia".

Selepas berkata-kata pemuda itu terus berlalu dari situ. Sultan Abu Syah masih lagi terpaku disitu seoleh-olah tidak percaya apa yang telah berlaku dan adakah ia sedang bermimpi. Tidak lama kemudian, pengiring-pengiring Sultan Abu Syah datang mencari baginda. Semenjak dari peristiwa itu Sultan Abu Syah memikirkan apa yang telah terjadi dan tidak lama kemudian Sultan Abu Syah turun dari takhta dan menyerahkan pemerintahan kepada saudaranya. Baginda telah bertaubat dan terus mengembara untuk lebih mengenali Allah sehinggalah baginda menjadi hamba yang soleh.

Selasa, 24 Februari 2009

Mahabbah


Pada dasarnya manusia adalah makhluk yang lemah. Dalam menjalani ujian hidup, terkadang dirasakan sangat sulit dan berat. Banyak kita temukan orang-orang yang putus asa dan kecewa dengan apa yang diberikan oleh Allah SWT sehingga dirinya menjadi kufur.

Allah SWT yang mempunyai sifat Ar-rahman dan Ar-rahim, tentu tidak pernah salah dalam memberikan rahmat dan cobaan kepada hambanya. Karena sesungguhnya Dialah yang Maha Mengetahui tentang segala apapun yang pantas diberikan kepada hamba-hamba-Nya.

Mahabbah, atau cinta adalah konsep yang ampuh bagi manusia dalam mengatasi semua masalah yang ada pada dirinya. Arti cinta disini adalah cintanya seorang hamba terhadap Allah SWT yang melebihi dari apapun. Tidak menyekutukan-Nya, menjalankan apa yang diperintahkan-Nya, dan menjauhi segala larangan-Nya. Kita semua sepakat hanya Allah yang mampu menjadi sandaran seorang hamba ketika ia dalam keadaan sedih dan susah. Dan kita tahu bahwa, seorang hamba akan kembali menuju suatu Dzat Yang Maha Kekal yaitu Allah SWT. Hal ini dipertegas dalam Alquran, surat al-Hasyr ayat 22-23 yang artinya, “Dia-lah Allah Yang tiada Ilah (yang berhak disembah) selain Dia, Yang Mengetahui yang ghaib dan yang nyata, Dia-lah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Dia-lah Allah Yang tiada Ilah (yang berhak disembah) selain Dia, Raja, Yang Maha Suci, Yang Maha Sejahtera, Yang Mengaruniakan keamanan,Yang Maha Memelihara, Yang Maha Perkasa, Yang Maha Kuasa, Yang Memiliki Segala Keagungan, Maha Suci, Allah dari apa yang mereka persekutukan.”.

Cinta kepada Allah menjadikan hati tentram dan damai, seolah-olah dunia datang kepada kita. Cinta kepada Allah juga menjadikan kita selalu optimis dalam menghadapi sebuah realita kehidupan. Oleh karenanya, kita diwajibkan selalu mendekatkan diri pada Allah SWT, karena alam semesta ini adalah kepunyaan-Nya. Layaknya seperti seorang kekasih yang dekat kepada orang yang dicintainya, kenapa kepada Tuhan yang menciptakan, kita tidak mendekatkan diri pada-Nya. Kita bisa belajar dari sahabat Rasulullah Saw yang bernama Ustman bin Affan r.a. Kecintaanya kepada Allah mendorong ia menginfakkan seluruh hartanya di jalan Allah. Namun pada kenyataanya Allah membalas cintanya dengan surga, bahkan di dunia ia tidak dijadikan seorang yang miskin dan kekayaannya berlipat ganda. Rasulullah Saw bersabda, “Siapa yang ingin mengetahui kedudukannya di sisi Allah hendaklah dia mengamati bagaimana kedudukan Allah dalam dirinya. Sesungguhnya Allah menempatkan hambaNya dalam kedudukan sebagaimana dia menempatkan kedudukan Allah pada dirinya.” (HR. Al Hakim) Wallahu a’lam bish shawab.